Tangisan Sang Batu Karang

dawn

“Hari ini sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal bahwa engkau mengenal Aku sebanyak tiga kali “

Perkataan itu memenuhi benaknya. Setiap langkah gontainya, tulangnya seperti melumer dari tubuh tegapnya.

Apalagi jawaban keukeuh dari mulutnya masih terdengar menyahuti perkataan gurunya itu.

“Sekalipun aku harus mati bersama sama dengan Engkau, aku takkan menyangkal Engkau.”

Katanya. Penuh dengan kesungguhan, kekeras kepalaan.

Baru saja perkataan itu keluar, di tengah kedinginan malam mencekam di taman, ia sudah berlari bersama kawan-kawan seperjalanannya. Berlari meninggalkan seseorang yang sudah membagi hidup begitu banyak dengannya dan kawan-kawannya.

Alone

Ia terduduk di atas batu. Menenggelamkan wajahnya dalam telapaknya. Masih ada bau darah, padahal Ia telah menghapusnya. Darah telinga si prajurit.

Astaga ! Ia mendesah sengsara, ia bahkan masih melihat Sang Guru menyambung telinga itu.

Mungkin ketika ia masih berkeringat air laut, ia akan berteriak ketakutan dan terkejut.

Tapi ia terkagum. Takjub yang tak pernah terbiasa. ia masih ingat jelas, ketika semalam-malaman tak ada satu pun ikan yang bisa ia dapatkan bersama saudara-saudaranya. Seperti petir di siang bolong, ketika seorang lelaki tak berkasut, wajahNya yang teduh dan memiliki pandangan yang tak pernah ia temukan di manapun selama ia hidup.

Ketika perahunya diminta untuk bertolak ke tempat dalam dan jalanya di pinta untuk di sebarkan. Saat itu pun ia masih menjawab dengan penuh keraguan.

Tapi toh ia tetap menebar jalanya, karena ia tahu ia sedang seperahu dengan Guru, Guru yang sebelumnya telah menyembuhkan ibu mertuanya dengan ajaib.

Mungkin kesembuhan adalah hal yang luar biasa. Tapi saat itu, ia lebih terkejut dan tak bisa berkata-kata, ketika ikan-ikan yang semalaman seperti raib dari danau, dengan sukarela, catat ! Dengan sukarela, memasuki jalanya.

Dia bukan sekedar Guru, Dia adalah Tuhan.

Masih jelas ketika dua roti dan lima ikan yang ia dan kawan-kawannya keluhkan, secara ajaib mencukupi makan lebih dari lima ribu orang. Bahkan sisa  sebakul untuk mereka masing-masing. Belum lagi tentang  ikan yang tak pernah berjalan di daratan menyimpan koin dalam mulutnya ?

Pikirannya membawanya pergi lagi.

sitting

Dingin air di telapaknya masih bisa ia rasakan dengan jelas. Sapuan gelombang menerpa wajahnya. Tapi telapaknya berpijak pada air dingin itu. Langkahnya menampar air dan bukannya tenggelam. Sebelum akhirnya ia tersadar bahwa ia sedang berada di tengah danau terdalam dan badai yang sedang mengamuk.

Ia adalah orang tak berpendidikan. Otaknya tak pernah beranjak dari jala dan perahu. Tapi satu hal yang membuatnya tak pernah bosan mendengar pengajaran Gurunya. Sesuatu yang selalu ada di setiap perkataan Gurunya. Ya, sesuatu yang juga terus membuatnya tercengang-cengang.

Ketika si pelacur kota yang ia sendiri jijik melihatnya, namun Gurunya malah mengampuni wanita itu. Belum lagi si pendek yang mata duitan, ia masih ingat betapa jengkelnya ketika harus masuk ke rumah si koruptor itu. Apalagi dengan anak-anak kecil, ia nelayan yang tak pernah berada di dekat anak-anak menemukan betapa anak-anak itu dicintai olehNya.

Begitu banyak mukjizat. Begitu banyak pengajaran. Begitu banyak pembagian hidup. Dan apa yang ia lakukan ? berlari kabur. Bukan hanya itu, ia melakukan hal yang lebih buruk dari teman-temannya, Ia menyangkal.

Bayangkan !! Si Batu Karang menyangkal karena ketakutan.

Ia sama sekali tidak pantas disebut Batu Karang. Ia mulai terisak. Andai Ia bisa memutar waktunya. Mengulangi kesempatan itu. Beberapa jam yang lalu. Ketika si wanita mendapatinya dan berkata, “Orang ini bersama -sama dengan Dia.” Andai ia bisa memutar waktunya ketika dua orang lain berturut turut mengatakan hal itu.

Dan ya, tiga kali berturut-turut ia berkata bahwa ia tidak mengenalNya.

Sosok yang tak pernah menyerah dengan ‘kebodohan’nya. Yang tetap memandangnya seperti sahabat. Mendidiknya seperti seorang anak yang akan tumbuh menjadi orang sukses, tak sekalipun pernah mengusirnya karena keteledorannya.

Aku tak pantas untuk kembali.” Desahnya diantara tangisnya. Sudah runtuh segala ketegaran si nelayan. Telah hilang sejak si ayam jantan berkokok.

Dan ia mulai menangis keras.

Saat itulah sebuah perasaan hangat dan dingin menyapa kakinya.

Suaranya saat itu terdengar jelas di kepalanya, “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku ?” Bibirnya bergetar, mendengar suaranya itu. Sang Guru sedang mendunduk didepannya, mataNya teduh dan menyentuh kaki kotornya.

Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya.” Tandasnya. Ya, sang Guru tak boleh menyentuh kaki kotornya, siapa dia sehingga pantas dibasuh oleh Gurunya ?

Tapi sang Guru tetap membasuh kakinya. “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian di dalam Aku.” KataNya.

Oh… saat itu ia terdiam, membiarkan Gurunya itu mencelupkan kakinya ke dalam air, mengangkatnya dan meletakkannya di pangkuannya. Masih terasa tangan hangat sang Guru mengelap kaki kotornya.

Air matanya mengalir deras. Sesuatu itu yang melebihi sekedar mukjizat, sesuatu itu yang membuat Tuhan mau menjadi manusia. Sesuatu yang mau mengasihi seorang pelacur. Yang mau menyembuhkan para pengidap kusta. Sesuatu yang membuat Gurunya mau memikul salib di mana Ia akan ditancapkan.

Kasih.

Kali ini ia berdiri. Berbalik. Ia mungkin berkhianat, Ia mungkin menyangkal. Tapi ia tahu, Kasih yang tak pernah masuk diakalnya akan mengampuninya. Kasih yang selalu mengejutkannya akan memeluknya, seperti ketika Gurunya membasuh kakinya.

Walking-Alone

Dan ia berbalik.

Ia harus melakukan apa yang Gurunya perkatakan, untuk menunggu bersama-sama.

Si penyangkal berbalik. Dengan ketidak pantasan dan segala aib.

469245


sedang disana….


setiap murid.

satu persatu berbalik.

Berkumpul di sebuah ruangan.

Menunggu seseorang lagi.

Seseorang yang mereka tahu hancur hati melebihi mereka.

tapi kemudian terdengar ketukan di pintu, kemudian pintu itu terbuka.

door open

Petrus.

Si murid yang menyangkal. Juga si Murid yang berani keluar dari kapal. Si Murid yang menghunus pedang. Si Murid yang dikasihi. Yang telah diampuni, sejak pertama kalinya.

tetapi orang muda itu berkata kepada mereka: “Jangan takut! Kamu mencari Yesus orang Nazaret, yang disalibkan itu. Ia telah bangkit. Ia tidak ada di sini. Lihat! Inilah tempat mereka membaringkan Dia.

Tetapi sekarang pergilah, katakanlah kepada murid-murid-Nya dan kepada Petrus: Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia, seperti yang sudah dikatakan-Nya kepada kamu.”

Markus 16:7-8

Penulis: A/z

A mild Arian. Strolling around in tx office, and sometimes, in my own messy mind. Catch me up on ig : @aendreii

2 tanggapan untuk “Tangisan Sang Batu Karang”

Tinggalkan Balasan ke SandraClarisa Batalkan balasan