Mencari Washington DC

Sore di sebuah penghujung hari, menemani laut menguburkan mentari hari itu.

Baru satu hari Aku mengenalmu namun perasaan hangat sudah terasa saaat itu.
Kecerdasanmu memikat dan setiap katamu ku dengar dengan seksama.
Dan sore itu entah mengapa, segala sesuatu terasa pada tempatnya.

Dan tinggal kita di tepi malam, menikmati jejak senja yang menyalang di langit gelap.

Berbicara satu sama lain.

Kamu dengan pengalaman dan cita-citamu. Berpondasi pada lusinan hari-hari yang telah kau lewati.
Aku dengan khayalan liar tak bertuan. Tak mengenal tanah tuk berpijak.

“Aku mencintai kota ini.” Kataku padamu. “Senjanya begitu memikat. Fajarnya mempesona tanpa susah payah.”

Kamu mengangguk setuju. “Memang terbaik.”

Larutnya jingga sore itu memang sangat membekas. Angin malam yang sepoi diperkaya dengan asin laut yang menenangkan.

“Bila jenuh dengan pantai, tinggal lari ke gunung. Semua ada di sini.” Kataku lagi.

Dan lagi-lagi kamu mengangguk setuju, “ajak Aku lain kali, ke gunung.” Balasmu.

“Intinya, Aku cinta pulau ini.” Ulangku. Hampir genap dua tahun Aku tinggal di pulau itu, dan rasanya seperti pelukan hangat di hari yang dingin. Nyaman tanpa embel-embel.

“Dulu Aku juga pernah mencintai sebuah kota. Lebih tepatnya, Aku kira aku sungguh mencintai kota tersebut.” Giliranmu bercerita. Kamu menatap lurus ke lautan yang mulai menggelap. Barangkali pandanganmu sedang kembali menuju hari-harimu di masa lalu.

“Newyork adalah kotanya. Tempat impian sejak Aku bisa merangkai cita-cita. Sejak SD mungkin. Apel raksasa itu begitu menggugah jiwaku saat itu. Kemanapun kakiku melangkah, mimpi itu kubawa dan terus ku kerjakan. Dan bertahun-tahun kemudian, Aku tiba di Amerika. Aku bisa tinggal untuk waktu yang cukup lama dan tanganku akhirnya bisa menggapai buah tersebut.”

Desiran ombak malam itu begitu lirih. Mereka seperti memelankan suaranya. Mungkin seperti Aku, mereka tertarik dengan ceritamu.

“Dan akhirnya tibalah Aku di Newyork. Kota di mana semuanya berjalan begitu cepat. Semuanya terasa penting, hingga dirimu yang bukan siapa-siapa, entah mengapa terasa menjadi sesuatu. Tapi tetap saja, Aku sudah berhasil memijakkan kaki di kota itu. Seperti cinta yang menemukan tepukan keduanya.”

Jadi berakhir bahagia, dong ? Lantas ? Aku bertanya tapi menyimpannya dalam kepala. Membiarkanmu melanjutkan kisahmu.

“Begitulah Aku kira saat itu..”

Begitulah kamu kira saat itu ? Aku tak mengerti.

“Hingga kemudian Aku mendatangi Washington. Mimpi sejak kecilku seperti bertransformasi. Layaknya kepompong yang menelurkan kupu-kupu. Newyork tetaplah Newyork. Dan Washington tetaplah Washington. Hanya saja,  diriku menemukan Newyork-ku pada Washington. Kota yang tak pernah Aku pikirkan, yang kemudian membuat Aku begitu mencintainya dengan sangat.”

Cerita sederhana itu entah mengapa begitu menggelitik rasanya pada telingaku. Seperti ada pesan tersembunyi yang siap berteriak keras-keras bila Aku tak mempersiapkan diri.

“Jadi ?” Tanyaku, memastikan. Walaupun sudah tahu, Aku ingin kamu menyelesaikan ceritamu.

“Selain pulau ini, kamu sudah pernah kemana lagi ?” Tanyamu.

Dan nyata sudah, tertoreh hatiku. Ceritamu membuatku bertanya, bukan karena tidak jelas, malahan karena begitu nyata raganya.

Selain kampung halamanku, kemudian tempat Aku berkuliah, Pulau ini adalah pulau ketiga yang Aku datangi sebagai orang ‘dewasa’.

Maksudku, ketika di kampung, Aku masih bergantung penuh dengan orangtua. Begitu juga disaat kuliah. Maka tidak salah bukan bila tempat ini ku anggap sebagai tempat pertamaku tuk hidup sebagai orang ‘dewasa’ ?

Aku menggelengkan kepala, menjawab pertanyaanmu.

“Seperti cerita tentang punggung ayam ya ?” Tanyaku kemudian.

Giliran kamu yang memandangku dengan tatapan penasaran.

“Seperti seorang anak yang sejak kecil hanya bisa menikmati punggung ayam karena hanya bagian itu yang ibunya sanggup untuk membelikan. Ia tumbuh dewasa dengan pikiran bahwa ayam hanya memiliki bagian tersebut untuk disantap. Ia tidak tahu ada bagian lain.” Ceritaku.

Saat itu Aku bercerita kepadamu, namun  entah mengapa, suaraku saat itu malah terdengar berbicara kepada diriku sendiri.

“Kurang lebih seperti itu.” Katamu setuju.

“Tapi bagaimana kalau kita malah berakhir seperti seseorang yang disuruh untuk memilih bunga terbaik dalam sebuah taman ?” Balasku kembali.

Pernahkah mendengarnya ? Ketika seorang pria diberikan tugas oleh gurunya untuk memilih bunga terbaik menurutnya dalam sebuah taman dengan catatan Ia tak boleh berpaling ke belakang untuk memilih bunga yang telah ia lewatkan. Pada akhirnya, sang pria menyesali keputusannya karena Ia merasa bahwa bunga yang Ia pilih pertama kali adalah bunga yang terbaik.

Lagi-lagi kamu mengangguk. “Tapi coba kamu pikir, kalau sang murid tidak meninggalkan bunga pertama tersebut ? Apakah Ia akan tetap berpikir itu bunga terbaik di taman itu ?”

Pelan-pelan pesan misterius itu berbisik. Bagaimana pula Aku mengetahui sebuah rumah adalah tempat untuk berpulang bila Aku tak pernah meninggalkannya terlebih dahulu ?

“Jadi menurutmu, Aku harus mencari Washington DC-ku ?” Kepadamu, ku lemparkan pertanyaan terakhir.

Kamu mengerdikkan bahu, sembari tersenyum.

Malam itu angin malam terasa hangat. Pasir di pantai terasa menenggelamkan dan gemuruh ombak tampak gelisah. Seperti ada yang bergerak di dalam dadaku. Ada gelombang yang berwujud dari hasrat dan keinginan hati.

Seperti sebuah kalimat yang pernah Aku baca di suatu tempat,

Perlu tuk hilang,
agar kemudian kita bisa kembali pulang.”

Dan terkait pertanyaanku yang terakhir, pertanyaan itu lebih tepat disebut pernyataan.


Tulisan ini pertama kali Aku tulis 6 Mei 2021, sedangkan percakapan ini terjadi di akhir 2019. Akhir bulan yang sama, perjalanan mencari Washington DC-ku di mulai. Aku pindah ke kota yang baru. Benar saja, pelan-pelan definisi sebuah rumah, arti sebuah kota, mulai berubah dari hal-hal yang ku kira sudah terlalu dasar untuk bisa berubah.
Butuh waktu 1,5 tahun, untuk akhirnya Aku berani mem-posting ini tulisan. Haha, dont ask me why. Happy new year 2023, semoga tahun ini, kita menemukan halaman-halaman baru, atau kalimat-kalimat bermakna baru pada halaman-halaman lama kita.

C u next post ^^

Penulis: A/z

A mild Arian. Strolling around in tx office, and sometimes, in my own messy mind. Catch me up on ig : @aendreii

Tinggalkan komentar