Jadi Seperti Ini Menjadi Dewasa

Saat menulis ini, tetangga kos sedang memainkan gitarnya di depan kamarnya. Dibatasi dengan jendela kaca yang tidak begitu kedap, sayup-sayup bisa ku dengar sembari menulis tulisan ini.

Lagu Jason Miraz berjudul I Wont Give Up digenjreng dengan gitar seadanya, thanks God, suara mereka tepat pada kunci yang dimainkan.

“When I look into your eyes
It’s like watching the night sky
Or a beautiful sunrise
Well there’s so much they hold”

Dan segala perasaan melankolis menyesaki dada.

Sejak 2020, Aku tidak begitu menyukai hari ini (5 April 2022). Seperti ada sesuatu di alam bawah sadar yang mencoba berontak setiap kepala ini mengingat adanya hari ini setiap tahunnya.

2020 berat
dan 2021 ternyata lebih berat lagi.

Terlalu banyak perubahan yang terjadi dan segala sesuatu yang kira-kira sudah Aku rencanakan untuk tahun 2021, buyar seketika. Tapak kaki yang baru saja mulai berdiri, seperti jatuh lagi, kembali ke posisi merangkak.

Impian ternyata tak ayal sebuah gula-gula kapas. Merah muda menggiurkan, mengembang sempurna bak awan menerobos pelangi yang mentereng.
Dan kenyataan hanyalah setetes air. Tak lebih besar jasadnya dari permen kapas yang mekar dan mega. Tapi secipratnya, dan seluruh fasad merah mudanya musnah dalam sekejap.

Seperti kerupuk disiram air, singkatnya.

Beranjak dewasa adalah upaya dalam menghubungkan mimpi di masa lalu dan kenyataan di masa kini.

Kata orang sejak dulu, gantungkanlah cita-cita setinggi langit. Bagaimana pula nasibnya bagi orang-orang sepertiku yang fobia akan ketinggian ? Yang kakinya menjelma menjadi agar-agar ketika berada di ketinggian ? Mungkin digantungkan di atas lemari aja, cukup kaliya ?

Jarang kita diajarkan bahwa untuk mencapai langit tempat mimpi-mimpi tersebut digantungkan dengan tangga saja tidak cukup. Bahkan bila kita punya sayap sekalipun, tekanan udara di angkasa bisa membuat kita mati karena sesak.

Lantas membuatku semakin sadar, bahwa seringkali kita berandai-andai mengatasnamakan mimpi dan cita-cita bukan karena adanya optimisme yang kita pegang untuk esok hari.
Seringnya, malah kebalikannya.
Karena begitu pesimisnya melihat hari ini, maka melarikan diri dengan cara bersembunyi di hari esok, adalah cara terampuh untuk membius diri dari kepedihan hari ini.

Dan ketika sampai di esok hari tersebut (dan sadar bahwa kita tak bisa lagi melempar kata ‘esok’, karena setiap ‘esok’ punya kadaluarsanya masing-masing),
terlihat bahwa istana yang kita lihat dari jauh (dari masa lalu),
ternyata tak lebih dari sebuah tumpukan kardus yang menjulang.

25 Tahun membuatku mau tak mau bertanya,
“sudah ngapain saja selama ini ?”

Dan ingin menangis adalah perasaan yang keluar pertama ketika pertanyaan retorik itu menggema di kepalaku sendiri.

Kenyataan terlalu pahit, ia adalah ibunda sang kafein yang saking getirnya membuat diri ini terbangun dari mimpi dan lamunan masa lalu.
Dan sama seperti kafein kopi yang menyapa tubuh,
gemetar kita dijalarinya. Sekilas seperti tak tahu harus berbuat apa.
Begitulah 25 tahun menyapaku di hari ini.

Segala perasaan tidak enak ini ku coba terima lamat-lamat
mau muntah rasanya saat ingin di telan semua
ingin patah lenganku saat ku coba rangkul seluruhnya
– segala kegagalan;
– segala kepasrahan;
– segala kelemahan;

Karena telah lelah diriku ini, untuk menghabiskan satu hari lagi untuk bertikai dengan kepala sendiri.

I won’t give up on us
Even if the skies get rough
I’m giving you all my love
I’m still looking up
I’m still looking up

Si tetangga masih memainkan lagu ini, mungkin sudah ketiga kali reffnya diulang.
Dan, air mata rasanya mengembang dan perasaan ingin menyerah yang ditampung selama ini seperti ingin tumpah ruah.

Kebenaran membebaskan, katanya. Tapi terkadang rantai mengikat kita dan membuat kita terlindung dari kaki yang berlari menuju jurang.

Pun demikian, kebenaran tetap membebaskan. Pun bila sama-sama akan mati, terjun bebas menyambut akhir tampak lebih asyik dibanding menunggu ajal dalam belitan rantai, kan ?

Yang lanjut membuatku kembali berpikir, kenapa rantai tersebut tidak kupakai untuk menuruni tebing ?

Kenapa tidak mencoba kurangkul setiap kelemahan diri ini ?
Menerimanya sebagai bentuk kebenaran dan menggunakannya untuk menapaki kebebasan yang sebenarnya ?

Seperti menuruni jurang dengan rantai yang tadinya mengikat kaki.
Berdamai dengan kelemahan untuk belajar menjadi lebih kuat.

Dan untuk hari ini,
di umur 25 ini,
Aku akhirnya memahami makna perkataan :

“For when I am weak, then I am strong.”
Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.”

Anw, hbd ndre !!



Gatau sejak kapan tepatnya, Aku terbiasa meluangkan waktu dari 24 jam di tanggal 5 April setiap tahunnya.

25 tahun, seperempat abad (a quarter life itself). Ternyata tidak seburuk itu. Tulisan ini terasa sangat gloomy saat ku baca, dan perlu berpikir beberapa kali hingga akhirnya Aku memutuskan untuk memindahkannya dari notes di gawai dan mem-posting-nya di sini.
So yea, c u at next post ^^

Penulis: A/z

A mild Arian. Strolling around in tx office, and sometimes, in my own messy mind. Catch me up on ig : @aendreii

Tinggalkan komentar