Gelombang Pasang

Ternyata ada yang lebih sulit dari sebuah awal. Kepelikkan tuk bermula dari sebuah jeda ternyata lebih sukar adanya. Spasi memiliki banyak probabilitas dan entah kenapa berbagai skema negatif kerap terjadi dan membuat jeda yang harusnya menjadi ruang tuk beristirahat sejenak malah menjadi jurang neraka.

Tapi tidak selalu sih. Menurutku sendiri seperti halnya manusia punya akal budi masing-masing, cara mengelola sebuah ‘antara’ pun berbeda-beda bagi setiap orang. Pekerjaan rumahku adalah bagaimana caranya menguras keterlaluan yang menggebu-gebu dan mengubahnya menjadi energi yang presisten.

Berani bertaruh, tahun depan, bila Aku membaca tulisan ini, dua paragraf di atas akan terdengar membingungkan. Tanpa konteks mapun introduksi, langsung mengucurkan untaian kata yang entah kenapa terdengar sok cerdas. Seperti bercinta tanpa ada foreplay terlebih dahulu. Main terabas, ujung-ujungnya sakit kepala.

Jadi demi membantu diriku sendiri di masa depan, konteks tulisan ini adalah bagaimana caranya memulai kembali sesuatu yang telah lama tidak dilakukan.

Seperti membongkar gudang berdebu untuk mencari sebuah dokumen. Bayangan untuk bergulat dengan kepulan debu dan jaring laba-laba saja sudah cukup membuat desahan sebal keluar dari mulut. Apalagi melakukannya, desahan tersebut berevolusi menjadi batuk batuk.

Waktu kecil segala sesuatu terdengar mungkin. Tetek bengek tentang peri senyata berita di koran, omong kosong terdengar se sakral mantera para dukun yang sudah seabad umurnya. Entah jampi-jampi tersebut yang melemah atau menjadi dewasa berarti harus berhadapan dengan kenyataan bahwa :
beberapa mimpi harus dilepas dan tak melulu harus diwujudkan.

Aku masih ingat masa-masa menulis dengan pena dan kertas. Belepotan tinta birunya snowman yang bikin halaman kertas menjadi cemong, dan jejaknya melekat di telapak tangan selama berhari-hari. Tidak ada alasan, tidak ada visi misi muluk-muluk. Menulis hanya untuk bersenang-senang, hanya untuk menyeruput isi kepala yang semrawut dan menuangkannya dalam abjad tertulis.

Beranjak dewasa, ternyata tak seindah ulat yang berubah menjadi kupu-kupu yang mampu terbang bebas. Siapa yang sangka ternyata resiko kupu-kupu tertiup angin kencang atau tertangkap predator lebih besar dibanding larva berlendir yang menempel di dahan pohon bergetah.

Memiliki otoritas sendiri atas banyak hal tidak selalu berbicara tentang kebebasan yang menyenangkan, seringkali malah kebalikannya, tentang bagaimana menciptakan batas dan kontrol agar hidup tidak terbuang sia-sia. Manusia berubah dan melebihi fisik, banyak perihal yang sifatnya batiniah yang perubahannya terlalu relatif dan personal sehingga tidak dapat diwujudkan dalam besaran yang pasti.

Keinginan untuk menjadi ikan purbawi yang merenangi dasar-dasar samudera memudar dan meninggalkan keinginan tak muluk-muluk ingin menjadi kungkang yang kerjaannya hanya tidur hingga lumutan. Dunia per-dewasa-an mengikis rumput-rumput liar yang tadinya adalah padang tak terhingga bagi diri kecilku. Menyisakan gundukan tanah cokelat membosankan yang menginjaknya pun harus hati-hati bila tak ingin mengotori sol sepatu.

Tapi tentu saja menjadi dewasa tidak seburuk itu.

Walaupun ringkih sekali sayap sang kupu-kupu, mungkin ia akan mati sehari setelah ia berubah, tapi paling tidak ia telah terbang.

Hidup selama-lamanya sebagai ulat pada pohon segede gaban atau menjadi kupu-kupu bersayap langsing yang rentan terseret angin. Tanyakan kepada ulat dan tanpa pikir panjang dia akan segera menjawab ingin menjadi kupu-kupu. Sekarang pertanyakan hal yang sama kepada si kupu-kupu, dan butuh beberapa waktu, lalu diberikannya jawaban. Dan bagiku keragu-raguan tersebut adalah pembuktian bahwa terbang lepas walaupun hanya sekejap seringkali lebih baik daripada menghabiskan selamanya sebagai ulat di pohon.

Dan gundukan tanah yang membosankan bisa ditanamkan tumbuhan lain. Mungkin membutuhkan waktu hingga sebuah tunas dapat bertumbuh dan bertahan. Tidak seperti rumput liar yang mewabah dalam semalam. Namun harapan bahwa adanya pucuk daun kecil yang tumbuh dari batang yang kering, sudah cukup untuk membuat diri ini untuk terus bertahan.

Entah apa maksud tulisan ini, tapi bagi diriku sendiri melakukan kegiatan tulis menulis ini adalah caraku keluar dari sebuah labirin yang bernama ‘kejenuhan’. Seperti bernyanyi di kamar mandi hingga suara serak. Berjoget kecil di dalam kamar ketika mendengarkan lagu kesukaan. Travelling bersama teman-teman ke tempat-tempat yang asing. Menghabiskan jam-jam dalam game di genggaman tangan. Ada banyak hal yang bisa membantu kita keluar dari berbagai labirin perasaan.

Menjadi kacaulah bila merasa jenuh. Dan rapikan kasurmu bila merasa tak tahu arah.

Terkadang kita hanya perlu untuk berusaha keras barang sedikit, mendorong pintu yang kita kira telah terkunci mati, menyirami tanaman yang kelihatannya tak bernyawa, mengitari gang yang kelihatannya buntu. Karena seringkali pintu tersebut hanya mengampas dan butuh tenaga lebih untuk memaksanya terbuka. Dan siapa yang sangka dari seruas kayu yang sekarat bisa tumbuh pohon yang rimbun.

Seperti tulisan ini yang tak disangka akan melahirkan kalimat-kalimat yang Aku sendiri tak terpikirkan sebelumnya.

Dan atas segala ketidakpastian di masa depan,
atas segala probabilitas di esok hari,
atas peluang lahirnya kata-kata yang tak terbayang,
tetap hidup dan menjalaninya adalah sesuatu yang pantas dicoba.

Photo by Sebastian Voortman on Pexels.com

Penulis: A/z

A mild Arian. Strolling around in tx office, and sometimes, in my own messy mind. Catch me up on ig : @aendreii

Tinggalkan komentar