#5 Rest Before Stress

Karena seringkali kita melewatkan hal-hal penting karena terlalu banyak menerima hal sekaligus, tanpa membatasi penting atau tidak nilai hal tersebut.

Karena sering kali kita melewatkan hal-hal penting, karena terlalu banyak menerima hal-hal yang bahkan tidak bisa kita batasi seberapa penting atau tidak nilai hal tersebut.

A/z

Kerja keras itu perlu.

Otak kita adalah mesin pengolah informasi yang sangat canggih. Sel-sel neuron menjalankan berbagai informasi yang membuat kita dapat merasakan dan melakukan banyak hal di saat yang bersamaan.

Misalnya saja ketika bekerja di depan komputer. Selagi otak kita mencoba fokus, telinga kita masih sempat mendengarkan musik yang diputar oleh teman kita, bersama dengan obrolan yang lalu lalang, juga dengan suara ketikan keyboard yang dihasilkan oleh sentuhan tangan kita. Belum lagi perasaan mengkilap yang kita rasakan dari ujung jari yang bertemu dengan tuts keyboard di komputer, atau bagian tangan yang bersandar pada meja yang dingin. Belum lagi aroma yang dihirup oleh hidung kita (well, kalau saat ini lo gabisa mencium apapun, please segera tes swab antigen, wkwk).

Intinya, dalam setiap detiknya, otak kita mengolah jutaan informasi dari dan ke seluruh tubuh kita. Setiap hal yang kita lakukan terjadi dengan dipengaruhi ribuan susunan informasi yang berkerja baik di dalam diri kita maupun di luar diri kita.

Dan di tengah dunia yang terlalu banyak informasi ini, tidak heran bila overwork ataupun overload akan informasi yang ada kerapkali terjadi.

Beberapa minggu ini bacaan-kloset Gue adalah Bukunya Tom Chatfield yang masuk dalam serial buku The School Of Life, yakni buku : How to Thrive in the Digital Age.

Buku ini membahas sekilas di awal bagaimana perubahan digital menjadi tonggak tranformasi global yang sungguh mengubah zaman. Mobilitas menjadi begitu pesat setelah zaman digital memasuki era kejayaannya.

Perubahan yang signifikan itu tentu saja membuat banyak hal yang berubah. Seperti halnya berita yang dulu hanya bisa diakses dalam lingkup tertentu, kini bisa diakses oleh hampir semua orang yang memiliki gawai dalam genggamannya.

In an age of constant live connections, the central question of self-examination is drifting from ‘Who are you?’ towards ‘What are you doing?

Tom Chatfield, How to Thrive in the Digital Age

Gue bisa menulis saat ini dalam browser, sekaligus membuka tab whatsapp di sebelah kanan tab ini, sedang di sebelahnya lagi terbuka google search yang siap membuka materi apapun yang sedang terpikirkan di kepala.

Arus informasi mengalir setiap saatnya dari berbagai sumber. Sosial media apalagi. Instagram, twitter, facebook, hingga TikTok, berbagai informasi mengucur hanya dalam satu klik dalam genggaman tangan kita.

Tentu saja dunia kerja terasa lebih efektif dan efisien di masa ini. Adanya chat messenger membantu kita dapat bertukar informasi tanpa harus dibatasi waktu dan tempat. Data yang kira-kira besarnya satu perpustakaan dengan mudah dapat disusutkan menjadi satu folder dalam laptop kita. Semua teknologi ini membantu kita dalam berkembang dan berevolusi.

But, di waktu yang sama, menjadi burned out seperti hal yang mudah di masa ini.

Burned out.

Bahasa indo-nya, ya, capek. Kelelahan. Yang paling menggambarkan mungkin, kejenuhan.

Kayak teko air yang udah terlalu penuh. Air yang dituangkan hanya akan meluap dan membuat semuanya berantakan karena basahnya berceceran ke mana-mana.

Dan yang paling sering dirasakan oleh generasi kita saat ini adalah social media burned out. Atau kejenuhan akibat sosial media.

Tentu saja pekerjaan kita seringkali punya andil yang paling besar dalam menyebabkan kejenuhan atau kelelahan. Ya, nama juga kerja, ya ga sih ?

Istilahnya, ngeue aja bisa capek WKKW. Apalagi bekerja.

Dan sosial media, smh, malah seringkali membuat kita keadaan menjadi lebih buruk. Melihat stories instagram orang-orang yang terlihat ‘selalu bahagia’. Melihat teman-teman sudah menikah dan punya anak (srsly, punya anak ?! I GIVE U GUYS A STANDING O, Gue ngurus diri sendiri aja kagak becus T.T).

Ada pula yang nge-share saham-saham dan koin dogenya yang sedang beranjak ke bulan. Membuat kita lalu bertanya ‘lah uang Gue habis ke mana ya ? Lalu teringat bahwa kita mendonasikan uang-uang kita ke UMKM terdekat melalui pembelian makanan tanpa henti serta barang-barang tak begitu penting dari e-commerce (tik-afckin-tok, i blame u for this !) !’

Got my point ? Di saat kelelahan bekerja melanda dan kita melarikan diri ke sosmed, sering kali kita berujung pada kelelahan yang lebih parah.

Ya jelas aja sih. Seringkali kelelahan terjadi karena otak (mental) kita kehabisan energi dalam memproses informasi yang begitu banyak. Dan media sosial adalah air terjun yang lain yang mengucurkan informasi yang begitu luas.

So, thats why, Hampir sebulan lebih, pertengahan januari dan sampai akhir februari tahun 2021 ini, Gue memutuskan untuk full melakukan instagram detox. Gue log out dan ga sign in sama sekali. Setiap jam 10 Malam, HP gue udah dalam keadaan airplane mode sehingga tidak ada notifikasi apapun yang bisa menggangu tidur Gue.

And amazingly, its worked for me.

Karena seringkali kita melewatkan hal-hal penting karena terlalu banyak menerima hal sekaligus, tanpa membatasi penting atau tidak nilai hal tersebut.

Seperti berbicara dengan teman ketika sedang menonton konser band rock. Suara bass berdentum bersama teriakan dan jeritan orang-orang moshing. Membuat teman kita yang berbicara dengan kita pun harus mendekatkan mulut ke telinga kita dan itu pun harus dibisikkan dengan cara diteriakkan agar bisa kita dengar.

Terkadang, kita perlu mematikan musik keras yang berdentum di belakang, agar kita bisa mendengar betul-betul suara yang penting. Suara diri kita yang seringkali kalah dengan hiruk pikuk informasi yang kita dapatkan setiap saatnya.

Di dunia kerja ini, yang Gue dapatin adalah bukan soal seberapa kuat kita bekerja. Namun tentang seberapa paham kita dengan diri kita hingga kita tahu kapan pastinya kita harus beristirahat dan break seperti apa yang kita perlukan.

Samasepertitulisanyangtidakmemilikijedaberbagaiinformasidankegiatanyangkitalakukantanpaadahentiatauistirahatnyahanyaakanmembuatkitakelelahandanmerasajenuhujung-ujungnyakitakehilanganpemahamanakanapayangsedangterjadidalamdirikitasaatini

Haha, seperti tulisan di atas. Tanpa spasi, tulisan menjadi sulit untuk dibaca, apalagi tuk dipahami.

Begitu juga dengan hidup, tanpa jeda di antara waktu-waktu yang kita habiskan, semuanya akan menjadi terlalu kacau tuk kita mengerti. Ujung-ujungnya kita merasa hilang. Ga tahu arah. Ga tahu mau bagaimana. Rutinitas yang seharusnya menjadi tapak tuk dijalani, malah menjadi tembok yang membuat kita tidak bisa bergerak ke mana-mana.

Give yourslef a break

Bahkan, sewaktu Tuhan menciptakan bumi dan seisinya nih ya (disadur dari agama penulis wkwk), Tuhan beristirahat di hari terakhir.

EVEN GOD GIVE HIMSELF A BREAK, COY !

WHY TF ARE’NT U ???!

Jadi, buatkan diri lo jadwal tuk beristirahat. Kalau kita ga bisa mengontrol jadwal bekerja kita, at least, pastikan kita punya waktu tuk beristirahat.

Beristirahat ga melulu tentang tidur. Walaupun jujur saja, tidur adalah istirahat paling alamiah yang sifatnya membantu tubuh kita memperbarui sel-sel diri setelah bekerja keras.

But, so many ways, buat kita bisa beristirahat.

Seperti meditasi.

Atau berjalan-jalan di sore atau pagi hari.

Atau memutar musik kesukaan dan berjoget sejenak di sela-sela waktu bekerja.

Makan siang dan berbicara dengan teman-teman sambil mengobrol asyik.

Mandi air hangat.

Dan social media detox pantes dicoba banget buat kita yang sering menghabiskan waktu di sosial media.

Find a cause, kata orang-orang.

Tulis hal-hal yang kira-kira membuat kita mengalami kejenuhan.
Kemudian dari situ kita bisa tarik mengapa itu bisa terjadi.
Dan, hopefully, kita bisa menghasilkan solusi terbaik untuk mengatasinya.

Di akhir tulisan ini, Gue mau share sebuah tulisan yang Gue baru baca dari Buku Love For Imperfect Things yang ditulis oleh Haemin Sunim,

Just as on a plane,
you are told to put the emergency breathing mask on a child
only after you have put one on yourself,
theres nothing selfish about looking after yourself first.

Only if you are happy will you be able to make thouse around you happy.

Haemin Sunim.

Seperti di pesawat,
kita diberitahu untuk menggunakan masker keselamatan kita terlebih dahulu sebelum memasangkannya kepada anak kecil,
bukan egois namanya bila kita mementingkan diri kita terlebih dahulu.

Hanya dengan menjadi bahagialah, kita dapat membuat orang-orang di sekitar kita, pun merasa bahagia.

Haemin Sunim (terjemahan pribadi).

Btw, udah baca postingan yang lain tentang #apayggwpelajari20s ?
Kalo belum, pick one :
#1 Kita tidak perlu menjelaskan semuanya ke semua orang
#2 Manusia bisa beradaptasi
#3 Hati-hati dengan FOMO
#4 Kebaikan Menarik Kebaikan

See u on the next post ^^

Penulis: A/z

A mild Arian. Strolling around in tx office, and sometimes, in my own messy mind. Catch me up on ig : @aendreii

Tinggalkan komentar